Keindahankebahagiaan dan kesedihan dapat kita ungkapkan melalui sebuah puisi. Tidak hanya itu hijau birunya air laut yang diberi aksesoris berupa deburan. Kehidupan yang tentram tinggal kenangan. Berdekap selalu aku dalam hangat cintamu. Akan tetapi inti dari perjalanan adalah prihal bepergian dari suatu tempat ketempat yang lain.
Home Kabar Seni dan Budaya Kearifan Lokal Puisi Makassar Dalam Pentas Opera Bunga Eja ... Kabar Seni dan Budaya Terbit 1739 - Sebuah karya puisi Makassar yang dibuat oleh seorang penulis warga Takalar Hanif Rangga dijadikan dalam bentuk seni panggung pentasan musik dan sandiwara atau disebut Opera. Puisi Makassar yang berjudul "Bunga Eja" dipentaskan melalui Opera yang menceritakan tentang kisah pembelajaran moral dan etika seseorang yang dimainkan oleh pemuda-pemudi Kabupaten Takalar dalam Sanggar Seni Ataraxia Kabupaten Takalar dengan judul Opera Bunga Eja. Opera Bunga Eja sendiri disutradarai oleh Bang Yus Amin Db. Puisi Bunga Eja menceritakan dimana sosok anak perempuan yang dibesarkan dari sentuhan-sentuhan Kearifan Lokal mulai dari sejak lahir hingga Bunga Eja tumbuh menjadi sosok perempuan yang menjaga dirinya dalam Kerangket adat. Didalam Puisi, Bunga Eja adalah sosok wanita dengan nama Sari Bulan Daeng Maccora secara Deskripsi makna Puisi dari Bunga Eja disematkan segala wujud keindahan langit dan bumi, meski mandiri dan dijunjung tinggi, perangainya yang serupa ombak samudra, kecerdasannya yang seluas Bang Yus sapaan akrabnya, Puisi Bunga Eja merupakan karya yang sangat filosofis, penuh makna. Sastra yang mengandung unsur semantik yang luar biasa sehingga dirinya tertarik untuk membuatnya dalam bentuk pertunjukan. "Kita berharap Opera Bunga Eja bisa memberikan pembelajaran moral atau etika bagaimana seorang anak mampu belajar dari kisah cerita ini. Apalagi untuk kaum milenial saat ini," ungkap Bang Yus saat ditemui Jumat 25/9.Dia menilai, melalui pentas ini dapat mengedukasi bahwa Kearifan Lokal dapat mempengaruhi perkembangan psikologis dan karakter seorang anak. "Dan saya juga ingin menyampaikan kepada semua orang bahwa tidak semua kearifan lokal itu dinilai negatif. Tapi mari kita mencoba mengedukasi ulang bahwa kearifan lokal sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan karakter seorang anak," ungkapnya. Pentas Kesenian Opera Bunga Eja akan digelar pada Sabtu 3 Oktober 2020 mendatang yang dimulai pukul hingga selesai. Pentas ini akan digelar di Grand Kalampa Hotel pusat kota Takalar, tepatnya di Jalan Poros Takalar-Jeneponto. Berbagai pentas Kesenian tampil dalam acara tersebut, Seperti Tari Ganrang Bulo, Tari Bunga Eja, Perkusi dan Seni Bela diri Makassar yakni Manca dan Silat. Opera Bunga Eja akan dimainkan 10 pemuda dan pemudi Kabupaten Takalar. Ketua Sanggar Seni Ataraxia berharap apresiasi masyarakat Takalar khususnya sesama pekerja seni."Ini sebuah tantangan sekaligus pembelajaran bagi kami karena berani memulai pertunjukan Opera ini. Apa lagi mengangkat sebuah kearifan lokal. Kami berharap ini bisa diapresiasi oleh masyarakat Kabupaten Takalar khususnya sesama pekerja Seni," ungkapnya. Perlu diketahui, dalam Pentas Seni Opera Bunga Eja ini, panitia pelaksana turut mengundang Ketua DPRD Kabupaten Takalar Darwis Sijaya, Bupati Takalar H Syamsari Kitta, Dinas Kebudayaan Kabupaten Takalar termasuk penonton yang akan menyaksikan Opera Bunga Eja dengan harga tiket sebesar rupiah. Terakhir, Sebagai skenario dan sutradara Opera Bunga Eja Bang Yus berharap Pemerintah Kabupaten Takalar lebih memperhatikan pengembangan budaya Kearifan Lokal, Kesenian Daerah. "Semoga pemerintah bisa lagi lebih memperhatikan pengembangan budaya kearifan lokal dan kesenian daerah Kabupaten Takalar," pungkas Mahasiswa lulusan bahasa & sastra di Unismuh Makassar uji. Berikut kutipan Puisi Makassar yang berjudul "Bunga Eja" karya Hanif Rangga warga Takalar yang dipentaskan melalui Opera Bunga Eja. Ooh anakku, Saribulang daeng MacoraPilanngeri baji'mami, pidandang pappasangkuRigintingannuji antu maloloNa natujuko mata baule'Na nadongkokiko pangngaiPunna sallang toako na mannasi'mo tanrasula ri abannuNamminro kebo'mo uyuq nuTana tujuamako mata. Tana dingkokiamako pangngaiPunna tatappoko ia ana'Anjalling kalau' mako ri pa'rasangang anjayaRi bori' tau mata. Penulis Abdul Kadir Editor Herlin Sadid Priakelahiran Bantaeng 1975 ini, ternyata pernah bersekolah di Makassar. Saat itu, kata dia, sekolahnya setingkat SD di Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya (PSBDW) yang terletak di Jalan Pettarani Makassar. Syamsul mengatakan, dari sekolah itu pula dia mendapatkan kursi roda hasil modifikasi tersebut. Apakah anda sedang mencari informasi Puisi Dalam Bahasa Makassar Beserta Artinya. Mengenal Sajak Makassar Dalam Kelong Nama Nama Hewan Dalam Bahasa Makassar Brainlycoid Ini Puisi Rahman Arge Tentang Lelaki Bugis Makassar Tribun Timur 15 Puisi Tentang Keindahan Alam Sebagai Penyegar Pikiran Kepogaul Puisi Bahasa Makassar Tau Toaku Rwblog Representasi Kebudayaan Bugis Makassar Dalam Lirik Lagu Album 12 Ungkapan Aku Cinta Kamu Dalam Bahasa Daerah Coba Bahasa Bugis Hasil Penelitian Bahasa Dan Sastra Pappasang Instagram Posts Photos And Videos Instazucom Daeng Pamatte Pencipta Aksara Lontara Oleh Adi Lagaruda Makalah Bahasa Bugis Appala Tarima Kasih Pembacaan Puisi Bahasa Makassar Youtube puisi dalam bahasa makassar beserta artinya Pengertian puisi adalah suatu karya sastra tertulis dimana isinya merupakan ungkapan perasaan seorang penyair dengan menggunakan bahasa yang bermakna semantis serta mengandung irama, rima, dan ritma dalam penyusunan larik dan baitnya. Beberapa ahli modern mendefinisikan puisi sebagai perwujudan imajinasi, curahan hati, dari seorang penyair yang mengajak orang lain ke dunianya’. Meskipun bentuknya singkat dan padat, umumnya orang lain kesulitan untuk menjelaskan makna puisi yang disampaikan dari setiap baitnya. Itulah informasi tentang puisi dalam bahasa makassar beserta artinya yang dapat admin kumpulkan. Admin blog KT Puisi 2019 juga mengumpulkan gambar-gambar lainnya terkait puisi dalam bahasa makassar beserta artinya dibawah ini. Jeka Joka Doangang Puisi Sakral Dari Makassar Kata Kata Cinta Bahasa Karo Dan Artinya Akunttcom Mengenal Aksara Lontara Orang Bugis Cekidot Di Mari Kaskus Kata Kata Cinta Berbahasa Bugis Terbaru Romantis Ceramah Pidato 12 Ungkapan Aku Cinta Kamu Dalam Bahasa Daerah Coba Bahasa Bugis Menggali Makna Di Balik Lirik Lagu Yabe Lale Inirumahpintarcom Pu Ipuisi Makassar Makalah Bahasa Bugis 12 Ungkapan Aku Cinta Kamu Dalam Bahasa Daerah Coba Bahasa Bugis Puisi Makassar Itulah yang admin bisa dapat mengenai puisi dalam bahasa makassar beserta artinya. Terima kasih telah berkunjung ke blog KT Puisi 2019. PuisiTentang Alam Senja, Keindahan Yang Tidak Terganti Lukaku Diusap Sang Bulan Potongan Indahnya Surga Nusantara Awan Kemana Perginya Alamku Yang Lestari Pantai Di Atas Bentangan Langit Itu Keindahan Alamku, Alam Indonesia Inilah Tanah Airku Desaku Yang Permai Rembulan Dan Matahari Alam, Itulah Namaku Indonesiaku, Tanah Airku Makassar, IDN Times - Minggu 28 April silam adalah hari penting bagi para pegiat dan pembaca karya sastra di Indonesia. Tanggal tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Puisi Nasional, mengacu pada tanggal wafatnya Chairil Anwar pada .Siapa tak kenal Chairil. Penyair mahsyur itu membidani kelahiran gerakan baru dalam sastra Indonesia. Di sisi lain, UNESCO sudah menetapkan 21 Maret sebagai Hari Puisi Internasional sejak ingin ketinggalan dalam perayaan kata-kata, IDN Times turut memilih lima buku puisi penyair asal Sulawesi Selatan yang layak kamu baca. Temanya pun beragam, mulai dari Perang Makassar, dapur plus kuliner, ditambah cuplikan naskah sastra legendaris La Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi Ibe S. Palogaiibespalogai"kau menghaluskan diri di ambang tidurmengundang aku merantau ke masa dahulumenebingkan lekuk waktu bagi curam peristiwadi dalamnya kita jatuh terkutuk atau hilangsebagai cerita"Buku kumpulan puisi terbaru dari Ibe S. Palogai, salah satu penulis muda Sulawesi Selatan. Terbit setahun silam, Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi langsung menjadi buah bibir tatkala diumumkan masuk dalam proses kurasi 10 besar ajang Kusala Sastra kelahiran Takalar 7 Juli 1993 ini mengaku banyak terinspirasi dari peristiwa Perang Makassar 1666-1667. Menjadi tema besar, Ibe turut bercerita tentang dampak pergulatan hebat hampir seluruh kerajaan di daratan Sulsel waktu itu, yang masih terasa hingga detik ini. Astana Galesong makam pejuang Bugis, Ininnawa lagu daerah yang bercerita tentang kesabaran, hingga Kanre Apia sebuah desa di Kabupaten Gowa turut mengisi Cinta Yang Marah M. Aan MansyurDok. Istimewa"Suatu hari kelak, sebelum salah satu di antara aku dan kau tersangkut maut, pada hari ulang tahun kau, ketika tidak ada pekerjaan kantor yang melarang kau cuti, aku akan mengajak kau menjadi tua renta, kemudian mengajak kau kembali menjadi anak-anak."M. Aan Mansyur dikenal publik luas berkat puisi-puisi tentang cinta dan manis-getir hidup. Tema serupa turut diangkat dalam Cinta Yang Marah, buku kumpulan puisi yang terbit 2017 lalu. Namun, Aan dalam larik-lariknya menyinggung banyak hal. Dialog "aku" dan "kamu" ibarat sebuah perbincangan sepasang manusia yang baru saja khatam membaca ribuan eksemplar satunya yakni Reformasi 1998, lembar terakhir rezim Soeharto yang berkuasa selama 30 tahun. Singkatnya, sejarah Indonesia turut menjadi benang merah di buku ini. Seluruh puisi turut bersanding dengan kliping surat kabar, seolah melengkapi memori-memori yang coba digali kembali dari dalam benak. Baca Juga Ingin Tahu Lebih Banyak Tentang Makassar? Coba Baca Empat Buku Ini! 3. Dapur Ajaib Alfian DippahatangDok. Istimewa "Cabai tumis yang lezat kata seseorang yang berasal dari Batamdiduga dibikin ibuku dari proses latihan yang menguras air mata dan peluhDi tangan ibuku yang pandai memasak itulah,jiwa penyabar tumbuh jadi tanaman hijau di dadaku"Terbit tahun 2017 silam, inilah kumpulan puisi perdana Alfian Dippahatang. Dapur Ajaib termasuk unik lantaran banyak berputar pada dapur sebagai tanda kemakmuran suatu rumah beserta segala isinya, mulai dari makanan hingga bumbu pelengkap. Fian, sapaan lengkapnya, mendasari puisi-puisi karyanya atas kecintaan terhadap kuliner Tanah Daeng, terkhusus coto berkisah perihal makanan dan perjuangan agar asap dapur tetap mengepul. Ibu turut menjadi tema sentral, sebagai anggota keluarga yang bertugas menjaga eratnya ikatan keluarga melalui sajian makanan racikannya4. Manurung Faisal Oddang "Perang umpama genderang yang bisa ditabuh kapan saja oleh Kekuasaan—dan Kekuasaan punya banyak tangan untuk menutup telinganya dari suara tabuhan."Terbit tahun 2017 dengan judul lengkap Manurung 13 Pertanyaan untuk 3 Nama, Faisal Oddang membuktikan diri tak cuma piawai membangun cerpen dan novel. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin tersebut menyajikan epos La Galigo, mahakarya sastra Bugis perihal kelahiran dunia, sebagai tema bukan sebagai bentuk penulisan atau penceriteraan ulang, Faisal bertutur dari kacamata Manurung, seorang budak yang "mengkritik" perilaku tokoh La Galigo. Pemilihan budak pun menambah daya tarik, mengingat di naskah aslinya, "golongan terpinggirkan" tak mendapat peran apapun kecuali sebagai Orkestra Pemakaman Aslan Abidin ribuan musim berubah dan lewat tanpasatu ujungnya dapat kita cegat bersama. kitatak pernah lagi bertukar tangis."Kumpulan puisi yang merekam perjalanan kepenulisan penyair senior Aslan Abidin sejak tahun 1993. Sebagai sosok yang lebih dulu menyeruak di wajah sastra Indonesia, penerbitan ulang Orkestra Pemakaman judul sebelumnya Bahaya Laten Malam Pengantin seolah melengkapi "kebangkitan" penulis di buku ini, sosok yang kini menjadi dosen di Universitas Negeri Makassar tersebut mengisahkan banyak hal. Mulai dari pembredelan media massa, hiruk-pikuk kehidupan kota, Perang Bosnia, malam pengantin hingga tentu saja Makassar sebagai tempat sang penulis mencari inspirasi serta penghidupan. Puisitersebut bagian dari buku puisi berjudul "Karang Menghimpun Bayi Kerapu" yang berisi 100 puisi karya Ibrahim Gibra - nama pena dari Prof Gufran Ali Ibrahim. Puisi itu sejatinya, cara memahami pengarang tentang keindahan alam Maluku Utara di masa lalu, saat ini dan apa yang diimajinasikan nanti. – Makassar. Puisi orang Makassar dengan dialek khas, sebagai penanda dan ciri tertentu, berikut kutipan bait-bait puisi khas Makassar “Makassar Tanah Kelahiranku” Aku berdiri di bumi Mangkasara Di tanah kelahiran ku Bumi dengan semerbak keperkasaannya Sang Pahlawan memperjuangkan makassar Cahaya makassar bersinar Ke segala penjuru anging Mammiri Aku di sini di Bumi mangkasara Kunikmati hembusan angin yang begitu syahdu Seakan membawa ku ke alam nirwana Membangunkanku dari lamunan Yang entah menjalar kemana Aku di sini di Bumi mangkasara Sepetak kota Besar namun sejatinya terbentang luas Terlihat ramai namun sejatinya penuh hiruk pikuk Silsilah adat Mangkasara Kota besar ini kota damai Kota ini kota yang sangat asri Kota metropolitan ini kota yang sangat indah Di kota besar inilah aku terlahir Di kota besar inilah terukir beribu kenangan yang indah Walau Hanya tinggal Didaerah yang terpencil Inilah kota Besar bertajuk Tanah Mangkasara Aku berdiri di bumi mangkasara Kusaksikan deretan kokoh pohon-pohon yang menjulang tinggi kian menarik perhatian Bangunan yang menjulang tinggi di segala penjuru Kota Mangkasara Mereka tak sunyi Mereka tak sepi Mereka menampung sekelompok binatang Pada malam hari Para Warga Makassar setia berkumpul Di anjungan pantai losari Khasnya makassar tak asing lagi Bagi para Wisatawan Betapa mereka bersua ria Menyambut penghuni Bumi Mangkasara Menambah kekayaan ciri khas Tanah Mangkasara Aku berdiri di Bumi Mangkasara Bumi yang kaya akan hasil alam dan Sumber daya Laut Sawah-sawah subur terbentang luas Sepanjang jalan Barombong Subur dengan ciri khas tanahnya Yang mampu menghasilkan padi yang terkenal Beras yang telah menjadi kebanggaan Tanah Mangkasara Aku berdiri di Bumi Mangkasara Kunikmati nuansa keindahan alam Dan bangunan klasik nan sederhana Namun mewah Benteng Roterrdam… Wisata peninggalan Belanda Yang berhasil di rebut oleh para pahlawan Mangkasara yang kini menjadi tempat kumpul muda mudinya Makassar Pulau Khayangan… Wisata permandian yang tertata modern Sedemikian rupa Menampung kisah rakyat yang dilengkapi berbagai misteri Mesium Balaikota… Sebuah bangunan tua namun tetap kokoh Dengan museum sederhananya Memberi nuansa bangunan kolonial nan indah Di tengah kota Makassar Semua begitu indah Semua tampak menawan Semua telah memikat hati Aku di sini Dengan penuh kebanggaan Bangga menjadi bagian dari kota Warga kota makassar Bangga menjadi bagian dari Tanah Mangkasara Bangga menjadi bagian dari Bumi kelahiran ku Aku berdiri di Bumi Mangkasara Bumi tempatku dilahirkan Bumi yang menjunjung tinggi adat istiadat Inilah Bumi Mangkasara Sepetak kota Besar dengan julukan Kota Anging Mammiri Kota indah Di Tanah Mangkasara Penulis Rusdi/redws
Cahayamakassar bersinar Ke segala penjuru anging Mammiri Aku di sini di Bumi mangkasara Kunikmati hembusan angin yang begitu syahdu Seakan membawa ku ke alam nirwana Membangunkanku dari lamunan Yang entah menjalar kemana Aku di sini di Bumi mangkasara Sepetak kota Besar namun sejatinya terbentang luas
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pada cekungan karang, Kerapu sedang menanti, persis di batas tampak dan tidak tampakarus tubir, melompatlah ikan, yang dikirim arus utara dalam pusaran semalamSepagi ini telah masuk ke dalam bubuKau mungkin tidak percaya kakekku adalah karang yang menghimpun bayi KerapuPuisi tersebut bagian dari buku puisi berjudul "Karang Menghimpun Bayi Kerapu" yang berisi 100 puisi karya Ibrahim Gibra - nama pena dari Prof Gufran Ali Ibrahim. Puisi itu sejatinya, cara memahami pengarang tentang keindahan alam Maluku Utara di masa lalu, saat ini dan apa yang diimajinasikan nanti. Imajinasi itu bisa juga tentang kota yang punya tol, resto, kereta Argo Parahiyangan, tiang tiang atau tentang cinta yang memeluk rindu. Gaya menulis puisi tersebut menurut pandangan Sutarjo Adisusilo, disebut sebagai filsafat sejarah spekulatif yang menuliskan semua tentang masa lalu, sejarah, yang pernah terjadi, direkam dalam memori lalu dihubungkan dengan hidup saat ini. Ujungnya adalah tentang kemungkinan yang akan terjadi nanti. Masa lalu diwujudkan lewat magori. Ini sumber hidup yang berasal dari Ibu dan keluarga bahkan tentang laut, karang, ikan dan pasir. Inilah magori kita anak-anak di Maluku Utara yang lahir dan besar bersama laut atau juga bersama hutan yang isinya pohon sagu, kenari, kelapa, cengkih dan serba pertama. Ada realisme bertutur di situ. Ibrahim Gibra menulis romantisme yang kini mulai hilang tergusur modernitas dalam bait-bait puisi yang tajam. Sebuah historical responsibility yang lepas. Di mana kita hari ini? Di kota yang bising penuh tipu muslihat. Kita jadi lupa dengan magori. Lupa bagaimana caranya membuat bubu, lalu merayu ikan dengan daun Tagalolo Landmark Ternate merupakan daya tarik tersendiri dari Kota Ternate memiliki kesan bahari yang sangat kental dan menjadi ciri khas Pulau Ternate Wikimedia Commons Buku berjudul "Karang Menghimpun Bayi Kerapu" ini dibedah langsung Hasan Aspahani, pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Menurutnya, Imaji laut yang ada dalam karya ini berbeda dengan imaji laut yang ada pada karya-karya lain. Laut dalam karya Ibrahim Gibra ini sangat personal, kesannnya, dan bedah buku ini sendiri dibuat oleh Kantor Bahasa Maluku Utara bersama Fakultas Ilmu Budaya FIB Universitas Khairun Unkhair Ternate. Hasan, yang juga penerima Anugerah Sastra Badan Bahasa 2018 itu mengatakan puisi-puisi yang berada di dalam buku sebagian besar bertema laut dan masa lalu seorang Ibrahim Gibra, bahkan disebut Hasan sebagai penyair yang menyamar menjadi profesor. Ia sangat metaforis menulis masa kecilnya. "Puisi-puisi ini membuat saya berhak menikmatinya dengan sepersonal mungkin. Dan setiap orang saat menemukan puisi-puisi ini mereka juga berhak menikmatinya," ucap Bang Acang, sapaan akrab yang disematkan Ibrahim kepadanya. Sebagai seorang penulis puisi beliau juga mempersembahkan puisi nya untuk Ibrahim Manusia dan Air Gurakauntuk Ibrahim Gibra 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya
PuisiKarya Rifai Salim Tatkala keindahan tak kan jauh Cuman sejengkal dari pandangan Bergelimang rona pancarkan aroma Setia cengkrama enggan dijamah Namun angan tak setia kenyataan Alibi tuk berlari belok kanan dan kiri Meniti jalanan nan kian tak pasti Gejolak nurani seolah tak kan mengerti Titik kulminasi membelalakkan jati diri

Oleh Syaifuddin Gani SEBUAH kerja mengumpulkan, membaca, dan menyeleksi puisi para penyair generasi terbaru dekade pertama Abad ke-21 dari sebuah pulau yang kaya akan khazanah kebudayaannya, sungguh membahagiakan sekaligus menegangkan. Membahagiakan, karena kurang lebih seratus puisi yang dikirim, memperlihatkan capaian estetik, kekayaan tematik, pergulatan bahasa, kompleksitas lokalitas, dan sekaligus sebuah siratan bahwa pulau ini, tiada kunjung kehilangan regenerasi penyairnya. Kebahagiaan lainnya adalah ketika dihadapkan pada sebuah lanskap perpuisian yang sudah menyebar dan hampir merata ke setiap provinsi. Menegangkan, tiada lain, karena selain memilih dua belas penyair dari derasnya arus pertumbuhan kepenyairan di sini, juga memilih puisi-puisi terbaik yang mewakili setiap penyair. Ya, Sulawesi, sebuah pulau yang tiada henti berdenyut, melahirkan penyair. Hal ini dapat terjadi, tiada lain, karena selain kaya akan khazanah kelisanan, juga cemerlang dalam tradisi keberaksaraan. Suku Bugis, misalnya, mencapai puncak keberaksaraan dan kebudayaan, tidak diciptakan di masa kini semata, tetapi dibangun beberapa alaf silam, di masa nenek moyang, ketika naskah sureq I Lagaligo, mulai ditulis, beralih ke ranah aksara, yang kini dibaca di berbagai belahan dunia. Generasi Bugis-Makassar kini, “tinggal” memetik dan mengolah kembali buah kreativitas yang pohonnya ditanam oleh leluhurnya di masa silam. Tradisi penulisan serupa terjadi di khazanah kebudayaan Buton, Sulawesi Tenggara. Salah satu karya sastra yang cukup terkenal dari Buton adalah kabhanti, sebuah syair panjang, yang ditulis, salah satunya, oleh La Ode Idrus Kaimuddin, salah seorang sultan di Kesultanan Wolio, Buton. Kabhanti yang ditulis oleh Sultan ke-27 ini, berisi petuah keagamaan, akhlak, syariat, dan kearifan sebagai bagian dari siar Islam bagi masyarakat Wolio yang baru saja memeluk ajaran Sang Nabi, saat itu. Karena memiliki nilai yang dipadu dari lokalitas Buton dan profetik Islam, kabhanti pun menawarkan universalitas sehingga dibaca dan dikaji oleh penghayat ilmu pengetahuan dari beragam latar belakang. Puisi-puisi Sulawesi yang berada di haribaan pembaca saat ini, hadir dengan kekayaan dan kompleksitas adat-istiadat, sudut pandang, pergulatan sosiologis masyarakat Sulawesi, hadangan modernisme dan peliknya persoalan kekinian. Sartian Nuryamin, seorang penyair Sulawesi Tenggara yang bermukim di Kabupaten Kolaka, menyuguhkan puisi yang mewakili persoalan, kekayaan, dan kompleksitas sosial-budaya suku Tolaki. Puisi “Sabda Kalo” berhasil menjelaskan sebuah simbol adat berupa lingkaran rotan yang di tengahnya terdapat sirih dan pinang, sebagai tanda persatuan dan kerukunan suku Tolaki. Sartian, menguraikan secara maknawi adat itu yang berpijak pada bahasa puisi yang khas dan bernas, seraya mempersembahkannya secara filosofis ke haribaan pembaca. Penyair sadar bahwa ue atau rotan yang “pada mulanya tanah” adalah awal-mula manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi dalam laku “meninggikan adat dan membumikan petuah”. Puisi tersebut menjadi suatu pembuka pemahaman bagi dunia di luar budaya Tolaki bahwa setiap adanya perselisihan, pernikahan, perceraian, kematian, perang, dan musabab lainnya selalu “diakhiri” dengan rasa persaudaraan dan pertaubatan melalui kalosara dalam bahasa teeno sara mami, inilah persembahan adat kami’. Puisi ini juga sekaligus mengetengahkan sisi spritualitas dalam balutan lokalitas Tolaki bahwa “Tuhan, penguasa, rakyat” adalah satu jua adanya. Ketiganya “bertemu di ujung simpul” yakni simpul sang khaliq dan simpul sang hamba. Sampailah penyair pada pesan yang menggetarkan yaitu “tandan bergelar kafan pengingat waktu”. Belitan lingkaran rotan, sirih dan pinang, hanyalah ikhtiar manusiawi belaka yang pada akhirnya diperhadapkan pada ujung kehidupan, yakni kematian! Mitos menjadi lahan penciptaan yang menggoda penyair. Tradisi kalosara yang dibalut dengan nilai mitologis pada puisi Sartian di atas, La Ode Gusman Nasiru juga menjadikan mitos, khususnya cerita Putri Duyung, sebagai tema dan pesan. La Mbatambata adalah anak Putri Duyung atau Wandiundiu yang selalu menyusu di pinggir pantai, dalam kelisanan Buton, usai sang ibu diusir suami dan terkutuk jadi setengah ikan setengah manusia. Dalam sudut pandang penyair, La Mbatambata terus saja menjadi “kisah perih kekal dalam sunyi” dan “menari dalam resonansi waktu”. Akan tetapi, La Mbatambata bukanlah melulu soal mitos masa silam dari ranah Buton itu, tetapi di tangan penyair sekaligus menjadi Buton itu sendiri yang tengah bergelut dan berperang untuk keluar dari belitan mitos-mitos kebesaran masa silamnya yang melenakan untuk segera “bangkit dari kisah-kisah dan peristiwa” karena memang “terkutuklah segala masa lalu” itu. Secara tersirat, penyair ingin mengatakan bahwa tugas di kekinian lebih berat yaitu bekerja untuk kemaslahatan, keluar dari mitos. Akan tetapi, sang penyair sendiri tengah bergelut mencapai hal itu, selain mencipta puisi, juga harus berjuang agar La Mbatambata selain sebagai penanda lokal, juga menjadi tokoh universal. Gusman menyajikan puisinya dengan daya ungkap yang khas, segar, dan menggugah. Pulang ke haribaan kampung halaman yang dipenuhi sejarah dan kenangan, ditampilkan oleh puisi “Karena Aku Tak Pulang” karya Wa Ode Rizki Adiputri, penyair Kendari, lewat “kabar untuk laut yang menghitam” yang “sari-sari aspal lekat merambati lekuk gelombangnya”. Si aku lirik menegaskan kesetiaan sang gelombang melalui pertanyaan “pernahkah kau perhatikan betapa setia ia menjemputmu?” Keterpesonaan si aku lirik pada kampung halaman—yang sebagian besar adalah masa silam itu—karena ia dapat menjadi tumpahan rindu sebagai si anak hilang yang datang jauh di negeri orang. Melalui larik “siang ini, akumulasi cerita rindu tamat di Murhum, mengintipmu mengucap syukur penuh kaca, ah, lepaskanlah bersama kecewamu di situ”. Murhum, selain adalah nama salah seorang Sultan di Buton, juga sebagai simbol masa silam yang dibanggakan dan tak tergantikan. Romantisisme begitu kuat sehingga hampir tidak ada jalan kembali yang lain, selain ke masa silam itu. Hal tersebut rupanya disadari dengan baik oleh penyairnya. Ia mengeritik lewat bahasa simbolik yang cerdas, “jika kau sempat menyendiri, perhatikan bagaimana gemunung mencuatkan hijau, bagaimana sejarah menjelma cadas”. Sejarah, jika tidak dibaca ulang dengan berbagai sudut pandang, ia hanya menjadi pengganggu, cadas! Sehingga, “Wolio-Sorawolio atau Bungi-Betoambari” hanya mampu “kekal dalam jarak”. Wa Ode tengah berupaya “menjinakkan” bahasa sehingga pada sajaknya yang lain, ia mewakilkan rasa cinta si aku lirik melalui larik segar “garis tepi itu kukenal dari kedalaman obor matamu”. Wa Ode sadar bahwa pergulatan seorang penyair adalah perjuangan menemukan dan mencipta bahasa. Mariati Atkah, penyair asal Sulawesi Selatan, memotret ironi dan kenyataan pahit hidup nelayan. Dengan bahasa dan stilistika yang khas, ia menggambarkan “lelaki tua berjalan di atas laut mimpinya yang bertebing karang”. Laut dan karang sebagai latar fisik, dipadu dengan suasana batin sang nelayan dan masyarakat sekitar yang didayagunakan menjadi kekayaan bahasa puisi yang bernas dan kuat. Pola kehidupan masyarakat di Palajau, Kabupaten Barru dan segala kompleksitasnya merupakan sumber penciptaan. Dengan metafora yang dibangun dari pemilihan bahasa yang ketat, penyair mampu memotret ironi kehidupan nelayan yang “menetas dari ombak di telapak kakinya yang lisut”. Penyair mengatakan bahwa melimpahnya pendapatan yang diwakili “garam melimpah ruah” tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyakarat, karena di sisi lain, harga barang pokok tetap tak terjangkau. Dalam keadaan ini, harapan pun “rubuh membiru” dan nasib alangkah asin, seasin garam. Suasana batin si aku lirik dan kemarau panjang yang melanda Butta kampung Turatea berpilin menjadi puisi menyentuh. Dengan pemanfaatan persamaan bunyi konsonan “r” di baris kedua dan ketiga pada bait pertama puisi “Ballo’ Tala”, pembaca dihadapkan pada ambiguitas dan multitafsir makna, antara kemarau hati si aku lirik dan musim panas “serupa api yang sanggup menghanguskan hati”. Dan dengan sentuhan ironi, penyair mampu meminjam aroma ballo’ talla, minuman khas dari buah lontar, yang ditawarkan si aku lirik pada kekasihnya. Namun, alih-alih menikmati rasa manis dan menghilangkan rasa haus “duniawi”, justru dengan getir “memaniskan luka-luka”. Sebuah metafora yang memikat. Jika beberapa puisi sebelumnya memanfaatkan tradisi dan kehidupan masyarakat lokal sebagai sumber penciptaan, Fitriawan Umar, secara intertekstual, meminjam puitika Al-Quran, Surah Al-Qariah, sebagai hipogram puisinya “Surah Kenangan”. Dengan cerdas, penyair muda kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan ini, “mengubah” larik-larik Surah “Hari Kiamat” menjadi larik-larik baru dan tentunya menawarkan makna baru lagi. Tentunya, ini bukan sekadar peminjaman cara pengungkapan, tetapi sebagai strategi literer, sebagai bagian dari alternatif/cara pengucapan. Disebutkan bahwa kenangan adalah “hari di mana semua luka-tawamu seperti laron yang beterbangan”. Bukan gunung lagi, tetapi “senyum-perihmu seperti bulu yang dihambur-hamburkan”. Bagi Fitriawan, kenangan dalam konteks puisinya, tidak lain adalah kiamat itu sendiri bagi “orang yang masa lalunya berfoya-tawa”. Karena tempat kembalinya adalah sunyi, yaitu “api kenangan yang penuh pedih”. Sunyi adalah metafora bagi neraka, tempat penyiksaan dalam bentuk kenangan yang “mengapi”. Apa yang ingin dikatakan oleh Fitriawan adalah perilaku duniawi yang hedonis, yang dipenuhi senyum-perih, luka-tawa, dan foya-tawa akan mendapat ganjaran setimpal, berupa sunyi yang berapi. Bukankah neraka adalah negeri “tersunyi” yang dipelihara lidah-lidah api? Fitriawan juga menulis puisi tentang percakapan orang-orangan di sawah. Puisi seperti ini lahir dari sebuah masyarakat agraris dan memiliki pekerjaan, salah satunya, sebagai pengolah sawah. Dan suku Bugis menjadi salah satu etnis yang dikenal sebagai pengolah sawah yang ulet. Penyair menyuguhkan percakapan liris antarorang-orangan itu, yang sebetulnya mewakili kegelisahan petani. “Apa kau masih diliputi ketabahan, sedang waktu melipat segala” adalah ungkapan yang bernada pesimis dari orang-orangan itu. Puisi ini memiliki kaitan tematik dengan puisi “Ballo’ Tala” karya Mariati Atkah yang melihat adanya pergantian musim, “malaikat petugas pergantian warna melunturkan yang hijau, mengukuhkan yang kuning”. Gilasan sang waktu semakin terasa mendera seiring pilihan pragmatis petani yang lain yang tidak setia kepada bumi, dan “sibuk berunding dengan pemilik proyek”. Selain karena iming-iming uang, himpitan kehidupan membuat petani yang lain lagi mengatakan “kita tak punya pilihan lain”. Di sini, sang penyair menangkap gejala roda dan mesin modernisme yang menggasak kehidupan agraris masyarakat. Sawah berganti “petak-petak rumah di sana”. M. Dirgantara, penyair muda asal Pinrang, Sulawesi Selatan, pada puisinya “Kuda-kuda” terasa kerumitan pintu masuk pemaknaannya. Ada kisah yang serupa cerita sufi dan menawarkan hikmah khas pencari jalan cinta dan kebenaran. Ada nada humor lewat larik “Baiklah. Kita berangkat sore hari. Jagal saja kudaku sebagai bekal’, kamu tertawa”. Dirgantara tengah bergulat antara meraih makna yang filosofis dan tawaran bahasa sebagai medium penyampainya. Kisah sufi terasa kuat ketika sang tokoh di dalam puisinya, “mengambil kembali kudamu dari akhirat dan meminta maaf pada Tuhan karena berubah pikiran”. Kejenakaan seperti ini, lazim ditemui pada cerita sufi, dan Dirgantara mengolahnya kembali menjadi puisi yang menantang pemaknaannya. Kekuatan gaib dan strategi pemerian makna bahasa juga dihadirkan Dirgantara pada kisahnya ini melalui “Orang berkerudung tanah kering itu, baru saja hilang di terima kasih”. Sementara itu, puisi “Pada Karat Besi” Dirgantara menulis tentang hubungan antara aku lirik dan guru yang akan ditinggalkan. Ia mengenang “tentang cangkir saat kami menjadi teh hijau, dan gunting saat kami rambut yang kepanjangan, atau musim gugur ketika kami musim panas yang kurang sabar mendingin”. Bagi si aku lirik, ia adalah pihak yang siap menerima pelajaran dari guru, karena ibarat buku, ia adalah “buku yang berabu”. Penyair muda Gorontalo, Jamil Massa, berangkat dari ladang tebu yang siap dipanen yang dimetaforiskan menjadi “tebu yang tumbuh di keningmu itu”. Rasa sayang si aku lirik pada sang Gadis adalah juga rasa cinta kepada ladang tebu, sekaligus rasa kesal terhadap industrialisasi yang menjadi ancaman keberlangsungan sang ladang. Seperti gadis yang harus dicintai, ladang tebu juga membutuhkan kasih sayang, tetapi “bilah-bilah tajam bergerigi, di moncong perontok mekanis” adalah ancaman bagi kemanusiaan, juga bagi kehidupan ladang. Sajak ini ditulis dengan nada romantis tetapi dibalut dengan kritik sosial yang lembut sekaligus tajam. Harmoni, cinta, penghidupan masyarakat, dan ancaman pembangunan dibingkai dengan baik dalam puisi Jamil “Ladang Tebu” tersebut. Puisi Jamil Massa yang lain kembali menyuguhkan fenomena kemarau pada puisi “Ayat-ayat Kemarau”. Sebuah puisi imajis yang mampu menggambar panasnya sang musim yang retakannya “merayapi tanah kering”. Terasa ke haribaan pembaca, panasnya cuaca yang “berujung pada tangkai randu di gayutan ranting”. Akibat musim seperti ini, “batang digoyang buahnya ikut terpanting”. Jamil menjalin larik-larik puisinya dengan kesadaran akan bunyi rangkap konsonan “ng” sehingga empati dan kritiknya tetap di dalam koridor bahasa yang estetis. Ada semacam rasa keputusasaan yang mendera si aku lirik melihat tidak bersahabatnya alam. Akan tetapi, Jamil secara tersirat mengatakan bahwa di balik “air selokan berwarna cokelat” dan “dingin berliur mengerkah senja yang berangsur” terdapat tangan jahat manusia. Di sini, penyair bergulat antara daya ungkap dan pesan yang disuling dalam bahasa yang peka pada bunyi yang liris. Ada benang merah yang dapat ditarik dari puisi-puisi yang ditulis di Makassar, yaitu ancaman kemarau, pembangunan yang tidak berpihak, dan pola kehidupan masyarakat lokal yang kian tergerus. Di sini, nilai kearifan lokal dan rayuan pragmatisme tengah bergelut dengan arus modernisme yang kuat menggelinding. dalah Abdul Muttalib, penyair muda Mandar, Sulawesi Barat, yang mengetengahkan pergulatan dan perjalanan hidup seorang sopir truk antarkota. Baginya “supir truk adalah musafir” sebuah sudut pandang yang tak biasa. Muttalib memotret hidup sang sopir yang kompleks, penuh godaan, dan cobaan. Godaan dan cobaan itu tidak hanya mucul di tengah perjalanannya, tetapi juga dengan “malam” yang penuh cumbu rayu. Dengan demikian, sopir, bukanlah semata pekerjaan untuk mendapatkan uang belaka, tetapi juga bagaimana menahan diri dari godaan dunia dan terutama merawat kesetiaan pada “lapang hati istri dan kenangan riang anak” di rumah. Dari segi sosiologis, sopir adalah pekerjaan yang banyak dilakoni oleh sebagian lelaki Mandar sebagai kota yang merupakan pusat dari-dan-ke Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Muttalib mampu menghidupkan ingatan kolektif masyarakat Mandar atas pekerjaan sebagai sopir yang melewati kota demi kota, terminal demi terminal, dan pelabuhan demi pelabuhan. Puisi ini berhasil mengkonkretkan sebuah truk yang melalu dengan alunan lagu “kutunggu jandamu” menghidupkan jalan-jalan pengembaraan. Frase “kutunggu jandamu” mewakili laku “jalang” para sopir, gairah perantauan, lambang kelelakian, sekaligus penawar untuk tetap setia dengan pasangan sesungguhnya di rumah. Frase umum ini adalah penanda harapan sang sopir bahwa meskipun ia singgah di kota-kota tak bernama, tetapi di rumah, istri adalah segalanya. Muttalib berhasil menggiring judul lagu Imam S. Arifin tersebut dari jurang klise ke pergumulan bahasa yang khas dan otentik. Sehingga dalam pandangan penyair, “kutunggu jandamu” tidak lagi bermakna ketidaksetiaan seorang lelaki atas istrinya karena menanti status janda dari seorang istri lelaki lain, tetapi justru sebaliknya, jika sang lelaki sopir “zikirnya aliri losmen melati tak harum” maka pasangan di rumahnya akan menjadi janda dengan sendirinya, yang ditunggu lelaki lain. Ya, dengan memanfaatkan kosakata-kosakata khas truk dan perjalanan, misalnya “kompasnya patuh akan rambu-rambu hidup, klakson truknya tetap raungkan doa, ingatkan jalan lurus tanpa kelokan”, Muttalib telah memperkaya pengucapan puisi. Di sini, ia menawarkan puisi yang reflektif, humoris, dan spritual sekaligus. Upaya pemadatan bahasa juga masih terasa di sajak lain Muttalib, “Dua Kantung Hitam Menggantung di Bawah Matanya”. Dua kantung hitam itu “menyimpan kisah gelisah malam” adalah sebuah upaya penyimbolan yang unik. Semakin hitam kantung itu, berarti semakin banyak lipatan kisah yang menggantung di dalamnya. Penyair memberi pesan bahwa kisah-kisah itu patut dipelihara sebagai hikmah di masa kini. Abed El Mubarak adalah penyair Mandar yang mencoba menyelusuri jejak kepenyairan sebelumnya. Dua puisinya ditujukan buat Husni Jamaluddin seorang penyair kenamaan Indonesia kelahiran Mandar dan Zawawi Imron, penyair Madura tetapi banyak menulis tentang Mandar dan menaruh perhatian kepada tanah kelahiran Baharuddin Lopa itu. Sebagai penyair, Abed tidak abai terhadap apa yang dicapai pendahulunya. Kepada Husni ia mengatakan “Aku ingin mengenangmu/Seperti seorang isteri nelayan/Yang saban senja menghambur ke pantai/Mencari bayangan lelakiku antara tepi laut dan garis langit/Adakah di buih kau titipkan juga sebuah rindu yang menggebu?” Abed, mengenang sang penyair yang diasosiasikan dengan seorang istri nelayan yang menunggu sang suami “antara tepi laut dan garis langit”. Abed sekaligus memanfaatkan “laut” sebagai metafora pencarian dan kesabaran, karena laut sendiri adalah dunia yang karib dan tak terpisahkan dengan Tanah Mandar. Laut adalah simbol kehidupan, kesabaran menanti suami, dan sebagai sumber penciptaan puisi itu sendiri. Penyair Ima Lawaru, seorang perempuan berdarah Wakatobi, dengan baik memotret sebuah ritual budaya di Tomia, karia’a. Ia memulai sajaknya dengan “pagiku lautan debu manusia” sebuah larik yang mengandaikan manusia sebagai lautan debu untuk penegasan betapa banyak, sekaligus betapa ritual. Dengan bahasa sederhana tetapi tanpa kehilangan sentuhan puitiknya, penyair mampu menceritakan kembali secara visual sebuah upacara sunatan massal itu. Aroma pagi tercium sampai ke pembaca melalui larik “wangi-wangi mewangi dalam aroma pesta karia’a”. Tidak bisa tidak, sajak ini telah menghidupkan suasana dengan kesegaran kata-kata. Ima Lawaru dengan sajak yang liris, dengan tenang, memungut kata-kata dan menatanya menjadi sajak yang menyentuh. Sajaknya yang lain, “Musim di Rambut Ibu”, adalah sebuah amsal yang kuat dan sekali lagi, menyentuh, mengenai usia seorang ibu. Larik “musim semi/adalah musim yang pertama singgah bercanda mesra di rambut ibu” tentunya digali dari pergulatan bahasa yang intens dan sabar. Pengandaiannya sebagai “tunas-tunas kehidupan mulai tumbuh di kepala ibu yang kurus” bukankah itu sebagai larik yang bertenaga, puitik, dan imajis? Pengucapan yang menarik adalah ketika penyair mengibaratkan Usia sebagai “kemarau mengaum/mengaum lebih panjang dari musim kemarin” dan Maut diumpamakan dengan “ibu memetik musim terakhir, musim terindah yang tak pernah kutahu apa namanya” adalah penciptaan metafor yang hidup dan mengejutkan. Di tangan Ima, dunia kepenyairan di Sulawesi Tenggara, menjanjikan. Puisi adalah pengalaman personal penyairnya. Sebuah pengalaman yang paling dalam dan berkesan dapat diungkap melalui bahasa yang liris. Hanz Al Gebra, penyair asal Manado menjadikan pengalaman intim, berikut segugus harapannya melalui puisi yang lembut. Perhatikan larik ini, “kugambar sketsa wajahmu dengan garis bening” segera saja merangsang imaji visual pembaca pada sebuah kanvas di “bidang berembun”. Menariknya, si aku lirik menggambar di atas kereta, sehingga “setiap detik latar belakangmu berganti, seiring keretaku yang makin melaju”. Di sinilah pertaruhan seorang penyair yang berjuang menawarkan kata-kata. Sang penyair mengatakan bahwa kereta itu “digerakkan mesin rindu”, sebuah ungkapan yang digali dari pencarian bahasa yang ketat. Hanz mengakhiri puisinya dengan sangat konkret dan mengagetkan, “aku meraba mata angin, mengendus kutub-kutub udara yang basah, mereka-reka, di mana engkau akan mewujud”. Dengan demikian, si aku lirik tidak semata menggambar dengan tangan lahir, tetapi juga dengan tangan batin. Sajak Haz yang berjudul “Labirin Senja” juga merupakan upaya penyair di dalam menyegarkan ungkapan cinta melalui metafor senja. Dengan pilihan bahasa “jika bisa kubakar langit, agar malam bisa tertunda” si aku lirik mengemukakan ihwal cintanya dengan kata-kata yang heroik. Penyair Manado, Jean Kalalo, hadir melalui puisi “Tambio” dengan bahasa yang lugas mengalir, berani, liar, dan mengejutkan. Tambio adalah sosok ganda dan hidup di tengah masyarakat Manado, juga Indonesia. Ia, si Tambio, yang “di tepi jalan, matanya meliuk-liuk, o, ya gayanya, Sob”. Jean fasih menjadikan tutur khas Manado menjadi bahasa puisinya, sehingga terasa benar ruh lokalitasnya. Tambio adalah juga yang “di tepi jalan, gesit mencari ayah dan air mata yang dikandungnya”. Tambio adalah anak kandung sejarah dan deru perkotaan. Tetapi Tambio adalah juga yang “di atas mimbar, merengkuh sepi dengan kata, lidahnya melambai nakal”. Di tangan kreatif Jean, pembaca disuguhi beragam tabiat dan nasib Tambio, yang adalah juga nasib kita semua. Jean memberi warna khas bahasanya seperti “sengatan bisa 24 karat” untuk simbol rayuan yang dilakukan Tambio di mimbar politik. Tambio adalah sebuah puisi kritik sosial yang mampu menjaga jarak dengan puisi kritik sosial sebelumnya yang dilahirkan penyair Indonesia. Melalui gaya bahasa tuturan Manado, Jean sangat berpeluang menawarkan gaya pengucapan yang segar bagi puisi kita. Ia mengingatkan pembaca bahwa “Tambio di dalam kantor, tusuk kerut menembus dada, dan selusin liang mayat, menjalar dari pantatnya”. Sebuah bahasa yang satir dan sarkas, tetapi tetap memikat. Jean juga memiliki bakat menyajak dengan cara mbeling, tetapi tidak terjebak pada main-main belaka. Puisi berikut lahir dengan nada kelakar tetapi serius, “ketika nabi-nabi terpasung, berbahagialah jiwa-jiwa yang memuliakan Tuhan dengan keringat lelah, karena lidah adalah senjata, bukan pangkal kemuliaan”. Gaya ironi dimanfaatkan Jean pada puisi tersebut. Begitu pula puisi lain yang tidak kalah nada humornya, “aku cinta damai tapi mereka tidak, aku rindu damai, namun mereka enggan, aku haus damai sedang mereka benci, lambat-lambat aku bahkan lupa damai pernah ada”. Puisi yang lugas, sederhana, tetapi kaya akan makna. Membaca puisi dari para penyair Sulawesi yang khusus ditampilkan untuk Jurnal Sastra edisi ini adalah menghikmati bentangan cakrawala bahasa yang memukau. Para penyair dengan cara yang meyakinkan, memotret kehidupan sosial masyarakat Sulawesi, lengkap dengan kompleksitas permasalahannya, baik ketika berhadapan dengan musim pancaroba, terlebih lagi ketika dihadapkan pada pembangunanisme yang mengabaikan nilai lokal. Mitos mendapat pembacaan ulang, seraya memberi makna baru, meskipun terasa upaya bergelut dengan pukauan mitos, tradisi, dan masa silam. Lanskap Sulawesi yang berlaut, berkarang, agraris, yang ditopang oleh khazanah budaya yang bergelimang, menjadi oase penciptaan bagi penyair. Para penyair berjuang untuk menawarkan bahasa yang dipetik dari lokalitas dan nilai masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, selain sebagai latar fisik, para penyair masa depan Sulawesi ini dapat mengungkap sisi batin dan spritualitas masyarakat Sulawesi dengan sudut pandang dan pencapaian masing-masing. Kiranya, masa depan puisi di Sulawesi senantiasa cerah, dengan kehadiran para penyair generasi terbaru ini, sebagai pelanjut estafetnya. Menghimpun dua belas penyair dari daerah provinsi yang memiliki dunia kekusastraan yang bergairah dan kompleks, dapat terealisasi berkat dukungan dari kawan-kawan penyair yang bermukim di wilayah tersebut. Oleh karena itu, terima kasih jua saya haturkan kepada sahabat/penyair M. Syariat Tajuddin, M. Aan Mansyur, Delasari Pera, dan Arther Panther Oli. Selain itu, selamat pula kepada dua belas penyair Sulawesi yang puisi-puisinya hadir di sini. Lapangan kesusastraan Sulawesi dan tanah air, menanti Anda. Wassalam. Kendari, 30 September 2013 Catatan Esai Syaifuddin Gani, “Sulawesi, Lokalitas, dan Puisi” adalah tulisan pengantar edisi “Sulawesi dan Roh Ideologi Puisi Nusantara Mutakhir” dalam Jurnal Sastra The Indonesian Literary Quarterly lalu kemudian dimuat di Sastra Digital edisi April ini juga dimuat di tanggal 1 Juli 2015

iiUYZ6. 498 252 383 58 170 449 120 43 334

puisi makassar tentang keindahan